• Rabu, 12 Maret 2025

Skandal Pemerasan Polisi: Mengapa Hanya Sanksi Etik, Bukan Pidana?

Jakarta, 12 Februari 2025 – Institusi kepolisian kembali menjadi sorotan setelah serangkaian kasus pemerasan oleh oknum polisi terungkap. Dari pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) hingga dugaan pemerasan terhadap anak bos Prodia, sederet kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa para pelaku hanya dijatuhi sanksi etik, bukan hukuman pidana? Polemik ini semakin menegaskan urgensi reformasi di tubuh kepolisian, terutama dalam menindak tegas aparat yang menyalahgunakan kewenangannya.

Kasus pemerasan yang melibatkan anggota kepolisian bukanlah fenomena baru di Indonesia. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, jumlahnya meningkat drastis. Berikut beberapa kasus yang baru-baru ini mencuat ke publik:

  • Lima pejabat Polres Jakarta Selatan terlibat dalam dugaan pemerasan terhadap anak bos Prodia, yang semakin menambah daftar panjang skandal di kepolisian.
  • Sebanyak 35 anggota kepolisian dari tingkat Polda, Polres, hingga Polsek dinyatakan bersalah dalam kasus pemerasan terhadap penonton DWP.
  • Dua polisi di Semarang ditangkap karena memeras seorang remaja sebesar Rp2,5 juta, bahkan sempat mengancam akan menembaknya.

Dari berbagai kasus ini, pola yang muncul cukup mengkhawatirkan. Para pelaku bukan hanya oknum kecil, tetapi juga pejabat tinggi di kepolisian, yang seharusnya menjadi teladan dalam penegakan hukum. Banyak pihak mempertanyakan mengapa para pelaku hanya menerima sanksi etik, bukan hukuman pidana? Padahal, menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pemerasan termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Pasal 12 huruf e UU Tipikor menyebutkan bahwa penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan pribadi bisa dihukum hingga 20 tahun penjara. Dengan kata lain, polisi yang melakukan pemerasan seharusnya tidak hanya dikenai sanksi etik, tetapi juga diproses secara hukum sebagai tindak pidana korupsi.

Namun, realitanya di lapangan, banyak dari mereka yang hanya mendapatkan sanksi ringan, seperti mutasi, penundaan kenaikan pangkat, atau sekadar teguran. Apakah ini bentuk keadilan yang seharusnya ditegakkan?

Banyak pengamat menilai bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan oknum polisi yang melakukan pemerasan hanya dikenai sanksi etik dan tidak diproses secara hukum:

  1. Solidaritas Korps – Kepolisian memiliki budaya korps yang kuat, di mana mereka cenderung melindungi sesama anggota agar tidak terkena hukuman berat.
  2. Kurangnya Transparansi – Banyak proses hukum bagi anggota kepolisian yang dilakukan secara tertutup, sehingga sulit diawasi oleh publik.
  3. Minimnya Pengawasan Eksternal – Lembaga pengawas kepolisian seperti Kompolnas dan Ombudsman sering kali tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menindak oknum polisi secara langsung.

Dampak dari semua ini adalah rendahnya tingkat akuntabilitas di tubuh kepolisian. Jika mereka yang seharusnya menegakkan hukum justru melanggarnya, lalu siapa yang bisa dipercaya oleh masyarakat?

Masyarakat kini semakin lantang menuntut keadilan dalam kasus-kasus ini. Banyak pihak berpendapat bahwa hanya memberikan sanksi etik kepada polisi yang melakukan pemerasan bukanlah solusi yang adil.

"Jika masyarakat biasa melakukan pemerasan, mereka pasti langsung dipenjara. Tapi kalau polisi yang melakukannya, mereka hanya diberikan sanksi etik. Ini jelas ketidakadilan hukum!" ujar seorang aktivis anti-korupsi.

Jika pemerintah dan lembaga penegak hukum serius dalam melakukan reformasi di kepolisian, maka harus ada tindakan nyata untuk menghukum para pelaku, bukan sekadar teguran administratif.

Related contents